SUMEDANG – Dewan Kebudayaan Sumedang setuju dan mendukung jika pemerintah pusat akan membangun situs terapung makam Prabu Guru Aji Putih di tengah genangan Waduk Jatigede. Situs terapung itu, dinilai sangat penting guna melestarikan nilai-nilai sejarah para leluhur Sumedang, termasuk kebudayaan masyarakatnya.
Prabu Guru Aji Putih merupakan karuhun orang Sumedang. Ia adalah raja Tembong Agung yang merupakan kerajaan pertama di Sumedang. Pembangunan situs terapung itu, karena makam Prabu Guru Aji Putih yang terletak di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, ikut terendam genangan Waduk Jatigede, termasuk beberapa situs makam keramat leluhur Sumedang lainnya.
Selain itu, sebelumnya Bupati Sumedang Eka Setiawan sempat mengajukan kepada Kementerian PUPR untuk mengganti nama Waduk Jatigede menjadi Waduk Tembong Agung. Perubahan nama tersebut, sehubungan Kerajaan Tembong Agung terletak di area genangan Waduk Jatigede.
“Pembangunan reflika situs terapung makam Prabu Guru Aji Putih, maknanya untuk melestarikan nilai-nilai sejarah para leluhur Sumedang. Hal itu, supaya benang merah sejarah tidak hilang dan dilupakan masyarakat,” ujar Sekretaris Umum Dewan Kebudayaan Sumedang, Tatang Sobarna, Minggu 7 Mei 2017.

Tiga fungsi situs di Waduk Jatigede

Menurut dia, sedikitnya ada tiga manfaat pembangunan situs terapung makam Prabu Guru Aji Putih tersebut. Pertama, merevitalisasi nilai-nilai sejarah nenek moyang dan kebudayaan masyarakatnya. Apalagi ketika makam tersebut sudah tergenang Waduk Jatigede, masyarakat tak bisa lagi berziarah ke makam karuhun-nya. “Oleh karena itu, jika situs terapung dibangun, selain masyarakat diingatkan kembali dengan sejarah leluhurnya, mereka juga bisa kembali berziarah ke makam Prabu Guru Aji Putih, walau sebatas replika,” ucap Tatang.
Kedua, mentransformasi nilai sejarah dan ilmu pengetahuan kepada generasi penerus di masa yang akan datang. Pembangunan situs terapung itu, dapat mengingatkan kembali nilai-nilai sejarah supaya tidak hilang dan dilupakan masyarakat, terutama generasi penerus. Manfaat ketiga, secara tidak langsung bisa mengangkat perekonomian masyarakat sekitar. Ketika banyak pengunjung yang berziarah ke situs makam terapung di tengah bendungan, secara otomatis sewa perahu yang dikelola warga sekitar jadi laku.
“Termasuk warung makanan, kuliner dan cinderamata khas Sumedang. Jadi, banyak manfaat dari pembangunan situs makam terapung ini. Untuk teknis pembangunannya, perlu ada rekontruksi fisik yang dikerjakan oleh orang teknik,” tutur Tatang.

Nama Waduk Tembong Agung

Menanggapi perubahan nama Waduk Jatigede menjadi Waduk Tembong Agung, Tatang mengatakan, perubahan itu perlu dimusyawarahkan karena terjadi pro dan kontra di masyakarat. Diakui, perubahan nama Waduk Jatigede menjadi Waduk Tembong Agung, sebelumnya sempat diajukan bupati kepada Kementerian PUPR. Pengajuan itu pun, atas dasar aspirasi sejumlah elemen masyarakat. Pertimbangannya, letak Kerajaan Tembong Agung berada di wilayah genangan Waduk Jatigede.
Sementara yang menolak, beralasan karena nama Jatigede sudah kadung terkenal hingga mendunia. Bahkan penamaan Waduk Jatigede sudah dari dulu, bahkan ketika digulirkan rencana pembangunannya. “Oleh karena itu, untuk masalah perubahan nama lebih baik dimusyawarahkan dulu, walaupun pak bupati sudah mengajukan kepada Kementerian PUPR. Bila perlu, nama dua-duanya dipakai sehingga menjadi Waduk Jatigede Tembong Agung. Artinya, kebesaran dan keagungannya terlihat,” katanya.***

Komentar